CARA PERHITUNGAN HARI KETUJUH UNTUK PELAKSANAAN AQIQAH

CARA PERHITUNGAN HARI KETUJUH UNTUK PELAKSANAAN AQIQAH

Para ulama telah sepakat disyariatkannya aqiqah pada hari ketujuh, berdasarkan penukilan al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya “Al-Mughni” :

ولا نعلم خلافاً بين أهل العلم القائلين بمشروعيتها في استحباب ذبحها يوم السابع

“Kami tidak mengetahui adanya perselisihan diantara ulama yang mengatakan disyariatkannya anjuran untuk menyembelih (binatang aqiqah) PADA HARI KETUJUH.”

Yang melandasi Ijma ulama diatas adalah hadits Samurah radhiyallahu anhu secara marfu’ bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ

“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelih pada hari ketujuh (dari kelahirannya).” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh al-Albani).

Kemudian bagaimana cara kita menghitung hari ketujuh tersebut?

Al-‘Alamah Ibnu Utsaimin rahimahullah memberikan kepada kita rumus praktisnya dalam kitabnya “Syarah al-Mumti‘” sebagai berikut :

فإذا ولد يوم السبت فتذبح يوم الجمعة يعني قبل يوم الولادة بيوم، هذه هي القاعدة، وإذا ولد يوم الخميس فهي يوم الأربعاء وهلم جرا

“Jika dilahirkan pada hari Sabtu, maka disembelihkan (untuk aqiqah) pada hari Jum’at, yaitu satu hari sebelum hari kelahirannya, INI ADALAH KAEDAHNYA. Jika lahir pada hari Kamis, maka aqiqahnya pada hari Rabu, demikian seterusnya.”

Kemudian al-Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya “Al-Majmu‘” mengatakan juga :

يحسب فيذبح في السادس مما بعده

“Dihitung (hari kelahirannya), lalu ia menyembelih (untuk aqiqah) pada hari keenam setelahnya.”

Apa yang disampaikan oleh Imam Nawawi telah dibuat rumus praktisnya oleh asy-Syaikh Ibnu Utsaimin sebagaimana diatas, karena seandainya seorang anak lahir pada hari Sabtu, maka hari keenam setelahnya adalah jatuh pada hari Jum’at.

Dalam “Al-Maushuu’ah al-Fiqhiyyah” apa yang disampaikan oleh Imam Nawawi adalah pendapat mayoritas ulama.

Akan tetapi Imam Nawawi memberikan catatan yang “Al-Maushuu’ah” menisbatkannya juga kepada Jumhur ulama, bahwa jika lahirnya pada malam hari, maka hari kelahirannya tidak dihitung, misal bayinya lahir pada Sabtu malam, maka yang dihitung sebagai hari pertama kelahirannya adalah hari Ahad, sehingga aqiqahnya jatuh pada hari Sabtu.

Apa yang disampaikan oleh Imam Nawawi, menurut kami tidak mengurangi kaedah yang disampaikan oleh asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, karena apa yang disampaikan oleh beliau apabila dikatakan hari secara mutlak, orang arab biasanya memaksudkannya adalah siang hari.

Catatan :
Malam itu dimulai dari setelah tenggelamnya Matahari sampai terbit fajar, sebagaimana yang disampaikan oleh al-‘Alamah Shalih al-Fauzan hafizhahullah dan ini juga pendapat yang rajih dalam mazhab Syafi’i. Atau dengan bahasa lain siang itu dimulai dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya Matahari. Sebagian ulama mengatakan siang itu dimulai setelah terbitnya Matahari.

Referensi : https://islamqa.info/ar/answers/171377

Abu Sa’id Neno Triyono

Tinggalkan komentar